Trilogi Bapak, Anak, dan Lelaki
Seorang Perempuan di Mata Jelaga
Jelaga malam
mengambang remang-remang
Pada ruang
sempit seorang perempuan tengah sembahyang
Ia sampaikan
kalut hati berkalang
Pada Sang
Diraja yang ia yakini sungguh penyayang
Pun
perempuan menutup raut
pada telapak
tangan dan berdesis berikut gemetar
Sungguh
wujud ia merupa sempurna
Namun
sembahyang perempuan tumpah air mata meruah
Tidak
istimewa
Tidak cukup
harga
Hinggap kuat
merasa
Diteratapnya
pula lambai pelita bersahaja
Muncul
sesudahnya jelaga bertebar layak salju
kala akhir
Desember tiba
Ia pun rebah
sesudah memadamkan apinya
Meringkuk
rapat di lantai
Merasa
dingin kaku pada kulitnya
Jadilah
perempuan berada di antara jelaga
Membiarkan
diri pada tebaran kelam pekat
Cukup hanya
doa dan tanya pada Tuhan
ia hanya
membiarkan indah rupa cukup tampak pada
jelaga
Sebab
perempuan kian merasa
Ia tak cukup
ada dan bernyawa
Bagi kekasih
tercinta
ANAK
BAPAK
Baru saja sehari lalu anaknya memendam
udara
yang katanya memisahkan dia akan purnama
baru saja sehari dulu anaknya berbinar-binar mencium kasih punggung tangannya
tepat di pucuk kepalanya yang mengeras
meruntuh pada hatinya yang penuh kasih
baru saja itu berlalu
kini anaknya pulalah yang menarik kembali punggung tangannya yang sudah setinggi pinggangnya
Anakku, Anak Bapak...
Sudahkah Kau belajar tak bernapas untuk menjumpai Purnamamu?
DAlam kelam anak pun berkalam
dalam batinnya tak mau diam
....
Aku tak mau selekas ini
Sebab masih kulekat-lekat segalanya tentang Bapakku
Bagaimana ia merangkulku ketika aku mengeras dan memanas
bagaimana ia mencabut botol susuku agar aku mandiri lekas-lekas
Bagaimana ia mendiamiku ketika kepalaku mengeras
Bagaimana ia menjemputku pulang dari sekolah pukul tiga yang panas
Juga bagaimana ia menatap nilaiku yang juga lepas tuntas
...
Aku tak mau selekas ini
Sebab masih kulekat-lekat segalanya tentang Bapakku
Ketika keringatnya lepas merangkul dua bilah papan meretas harga dirinya
Ketika tajam matanya mencabut tulang dari kerongkonganku
Ketika ngilu batinnya jika kudiami ia karena ia tak memahami jiwa mudaku
Ketika senyum tersembunyinya menjemput purnamaku turun dari semayamnya
...
Anakmu, Bapak
Jika boleh memilih,
ingin sekali berjumpa pada Illahi
Berdiskusi dari hati ke hati....
Mengapa sepenting inikah melepaskan diri dari kecilnya seorang anak menjadi dewasanya seorang wanita?
Mengapa tak dibiarkan saja waktu berhenti dan aku masih tetap
merasakan...
Jahitan Emak, Tajamnya mata Emak, Sederhananya Emak dihadapan orang lain
Sahutan Emak
Inikah rasanya tangis usai Qabul dan Titah Purnama nantinya?
....
Tahukah kau, Purnama...
Ijabmu merebutku sebagai Anak Bapak
merebut masa kecilku
merebut kasih yang diam-diam kugunungkan untuk Bapakku
Tahukah kau, Purnama...
Selama ini aku mencari
Sengilu inikah kau bawa aku pergi...
...
Maka kudengar Bapak menjawab lewat senyumnya yang tak kunjung sampai
Tepat dibawah ubannya yang bermisai
"Anak Bapak yang tak bisa melihat kasih dari senyum Bapak yang tak sampai...
Jangan tangguhkan titah ILLahi,"
....
Ya, Bapak
Anak Bapak ini,
Mungkin mengikuti Titah Robbi
Tapi adakah pembawa titah sedemikian kasihnya seperti Bapak?
Meski separuhnya saja!
AL SHandy
Sungguh…
Lekatku penuh telah menyimak kata demi kata yang
Kau cipta.
Serentak bergeming hatiku,
Sesak napasku sejenak
Perlahan mulai berkaca
Mataku sesaat…
Sungguh, jelaslah…
Betapa besar, juga dalamnya
Rasa kasih sayangmu kepada keluarga.
Belahan jiwaku!!!
Ijabku bukanlah sengaja merebut dirimu dalam peluknya
Bukan juga semata menghentikan kasih yang diam-diam kau
gunungkan kepadanya…
Namun dengan ijabku,
Inilah jalan yang telah ditempuh para sahabat dan handai
taulan kita…
Dengan ijabku pula, dan dengan
Ijin-Nya!
Kelak akan menambah kebahagiaan mereka
Dengan menimang dan bermain bersama buah cinta kita…
Dalam kiblatku menghadap
Dalam lantunan kitab ku coba mendekat
Merayuku, Bermunajatku…
Wahai Illahi Robbi
Ijinkan dan bimbing aku menjadi titah terbaik-Mu
Dalam menyayanginya, seperti
Insan sebelumnya…
Bahkan lebih dari separuhnya!
Komentar
Posting Komentar