Rangkuman Modul Pengambilan Keputusan Berbasis Nilai Kebajikan

Tulisan ini cukup panjang. Namun percayalah, apabila Anda membacanya tanpa melompati satu paragraf pun, Anda akan mengerti akhir cerita dalam tulisan ini.

Source: https://s3.ap-southeast-1.amazonaws.com/labusel/smpnegeri1seikanan/RWgwRG1PYndDZ0UzMm40T3BqckNKZ1NNRTdVbGc5aGFPbkJpekhBLzBoTT0=-562.jpg

 

Filosofi Ki Hajar Dewantara dan Pratap Triloka dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin. Ki Hajar Dewantara, yang juga dikenal sebagai pendiri Taman Siswa, adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memiliki filosofi bahwa pendidikan harus dilakukan dengan menghargai dan memperhatikan keunikan serta kebutuhan masing-masing individu.

Filosofi ini dapat diterapkan dalam pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin dengan mempertimbangkan keunikan dan kebutuhan setiap anggota tim atau kelompok yang dipimpin. Seorang pemimpin yang menghargai dan memperhatikan keunikan serta kebutuhan masing-masing anggota tim atau kelompok akan dapat membuat keputusan yang lebih baik dan lebih efektif.

Sementara itu, Pratap Triloka adalah seorang ahli manajemen yang dikenal karena kontribusinya dalam mengembangkan konsep-konsep manajemen yang berorientasi pada nilai-nilai dan etika. Pratap Triloka mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus mempertimbangkan nilai-nilai dan etika dalam setiap keputusan yang diambil.

Dalam konteks pengambilan keputusan, nilai-nilai dan etika dapat membantu seorang pemimpin untuk mempertimbangkan konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil terhadap semua pihak yang terlibat. Seorang pemimpin yang berorientasi pada nilai-nilai dan etika juga akan dapat membuat keputusan yang lebih tepat dan lebih bertanggung jawab.

Dalam kesimpulannya, filosofi Ki Hajar Dewantara dan Pratap Triloka dapat memberikan pandangan yang berbeda namun saling melengkapi dalam penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpin. Ki Hajar Dewantara menekankan pentingnya menghargai keunikan dan kebutuhan masing-masing individu, sementara Pratap Triloka menekankan pentingnya mempertimbangkan nilai-nilai dan etika dalam setiap keputusan yang diambil. Kombinasi dari kedua filosofi ini dapat membantu seorang pemimpin untuk membuat keputusan yang lebih baik dan lebih bertanggung jawab.

Dalam kaitannya dengan pengambilan jeputisan, penting untuk memiliki nilai-nilai yang benar-benar dianut dan dipegang teguh dalam diri kita sendiri. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai tersebut dalam pengambilan keputusan, kita dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip yang kita ambil sejalan dengan nilai-nilai tersebut dan dapat membantu kita membuat keputusan yang lebih bijaksana, adil, dan bertanggung jawab.

Dalam pengambilan keputusan yang kompleks, sangat penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang sesuai dengan konteks dan situasi yang dihadapi. Misalnya, dalam pengambilan keputusan bisnis, penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai seperti inovasi, keuntungan, dan pertumbuhan, sementara dalam pengambilan keputusan sosial, penting untuk mempertimbangkan nilai-nilai seperti keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan masyarakat.

Ketika proses pembelajaran dalam modul, saya melewati banyak pembelajaran. Salah satunya adalah ketika mewawancarai beberapa kepala sekolah dalam wewenang mereka untuk mengambil keputusan. Salah satu yang menarik adalah, meski kepala sekolah tersebut belum mengetahui teori serta belum secara pragmatis melakukan teknik coaching, kepala sekolah tersebut sejatinya memanfaatkan paradigma coaching untuk meningkatkan potensi sekaligus menyelesaikan masalah.

Saya tidak menyangka bahwa hal ini secara signifikan akan slaing berkaitan antarmateri dalam modul PGP. Coaching adalah salah satu teknik yang paling tidak menyakiti perasaan siapapun, menurut saya, dan sejauh ini. Sebab, dibandingkan memutuskan sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak mau tidak mau dirugikan, melakui coaching, pengambilan keputusan justru menjadi salah satu bentuk pemunculan potensi yang diterima oleh semua pihak. Termasuk dapat ditolerir oleh nilai-nilai kebajikan yang diyakini oleh masing-masing individu.

Oleh sebab itu, saya memikirkan bagaimana coaching ini dapat dijadikan alat atau media pendukung dalam dunia pembelajaran, ketika peran saya sebagai seorang guru atau rekan kerja di sekolah. Tidak jarang, seorang guru mengalami dilema etika selama ia bekerja atau mendidik siswanya.

Kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan, terutama dalam menghadapi dilema etika. Sebagai seorang pendidik, guru sering kali menghadapi situasi di mana ia harus membuat keputusan yang sulit, dan seringkali keputusan tersebut melibatkan aspek moral dan etika.

Dalam menghadapi situasi ini, kemampuan guru untuk mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya dapat membantu dalam pengambilan keputusan yang bijaksana dan tepat. Seorang guru yang mampu memahami dan mengelola emosi dan perasaannya, serta mampu membaca dan memahami emosi dan perasaan orang lain, akan lebih cenderung untuk membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang ia anut.

Selain itu, kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya juga dapat membantu dalam membangun hubungan yang baik dengan siswa dan kolega. Dengan membangun hubungan yang baik, guru akan lebih mudah untuk memahami kebutuhan dan kepentingan siswa dan kolega, serta mempertimbangkan mereka dalam pengambilan keputusan.

Dalam menghadapi dilema etika, guru harus mampu mempertimbangkan berbagai faktor dan melihat situasi dari berbagai sudut pandang, termasuk sudut pandang etika dan moral. Dengan kemampuan mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya, guru akan lebih mampu mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika dalam pengambilan keputusan, serta memahami konsekuensi dari keputusan yang diambil.

Dalam kesimpulannya, kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan, terutama dalam menghadapi dilema etika. Seorang guru yang mampu mengelola emosinya dan memahami emosi orang lain akan lebih cenderung untuk membuat keputusan yang sesuai dengan nilai-nilai moral dan etika yang ia anut, serta mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan siswa dan kolega. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk terus mengembangkan kemampuan sosial emosional mereka untuk membantu dalam menghadapi situasi yang memerlukan pengambilan keputusan.

Dalam mempertimbangkan nilai-nilai moral dan etika, seorang guru harus mempertimbangkan prinsip-prinsip yang mendasari tindakan mereka, seperti kejujuran, integritas, keadilan, kesetaraan, kebajikan, dan tanggung jawab sosial. Prinsip-prinsip ini harus dijadikan panduan dalam memecahkan dilema etika dan situasi yang sulit. Guru hendaklah mempertimbangkan konsekuensi tindakan mereka terhadap siswa, lingkungan belajar, dan prinsip-prinsip moral dan etika yang mereka anut.

Itulah mengapa pengambilan keputusan yang tepat sangat penting dalam menciptakan lingkungan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman. Ketika keputusan yang diambil didasarkan pada nilai-nilai moral dan etika yang benar, maka lingkungan tersebut dapat menjadi tempat yang produktif, harmonis, dan nyaman bagi semua orang.

Nyatanya, tidak setiap teknik atau ilmu baru dapat diterapkan begitu saja di kehidupan nyata. Saya pernah mengimbas pemahaman mengenai budaya positif ke rekan kerja, bahkan hingga dua hari pelaksaan disertai praktik. Budaya positif tidak dapat diterapkan serta merta sesuai ekspekstasi. Nyatanya, paradigma dalam diri seseorang memiliki peranan besar untuk menjadikan sebuah konsep baru dijalankan secara konsisten dan kontinyu, ataukah tidak. Paradigma ini tentunya erat kaitannya dengan nilai-nilai yang diyakini oleh setiap orang.

Saya merasa, bahwa mengubah paradigma guru lain untuk menjadikan kondisi yang mendukung learning-community tidaklah semudah harapan. Patokan ‘bagus’ bagi si A, belum tentu ‘bagus dan efektif’ bagi si B. Inilah tantangannya. Sebuah keputusan yang akan diambil tentu tidak akan diterima seikhlas hati oleh seratus persen warga sekolah atau rekan di sekolah saya. Sebab, ini erat kaitannya dengan paradigma dan nilai yang dianut.

Namun, tantangan ini tidaklah menjadikan halangan. Sebab, seluruh warga sekolah di tempat saya mengabdi, mengutamakan keputusan yang dapat diterima oleh banyak pihak. Maka, apabila keputusan itu diambil dan disetujui oleh banyak pihak, tentunya risiko penolakan atau hal negatif lainnya dapat terminimalisir.

Sekarang pembahasannya terhadap murid. Apakah pengambilan keputusan berpengaruh dengan kemerdekaan murid?

Seorang guru yang memerdekakan murid-muridnya adalah orang yang mampu membantu para murid untuk menjadi individu yang mandiri, kreatif, dan berpikir kritis. Ketika seorang guru membuat keputusan yang tepat dalam situasi yang sulit dan kompleks, mereka dapat menunjukkan contoh yang baik dan mengajarkan para murid untuk mempertimbangkan konsekuensi tindakan mereka terhadap orang lain dan lingkungan sekitar.

Selain itu, pengambilan keputusan yang tepat oleh seorang guru juga dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi para murid. Ketika keputusan yang diambil didasarkan pada nilai-nilai moral dan etika yang benar, maka para murid akan merasa dihargai dan dihormati, sehingga dapat merasa nyaman dan aman dalam belajar.

Pertanyaan selanjutnya yang menggelitik, tentunya adalah bagaimana keputusan yang memerdekakan murid sedangkan murid memiliki karakteristik yang berbeda? 

Untuk memutuskan pembelajaran yang tepat untuk potensi murid yang berbeda-beda, seorang pendidik harus memahami kebutuhan dan karakteristik individu murid, menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi, menyediakan sumber daya pembelajaran yang beragam, dan melakukan evaluasi secara teratur. Dengan melakukan hal tersebut, seorang pendidik dapat membantu para murid untuk mencapai potensi terbaik mereka.

Poin terpenting pada hal ini adalah pertimbangkan kembali sebelum memutuskan sesuatu terkait murid. Kemudian, apabila memungkinkan dan tidak menimbulkan dampak buruk, lebih baik libatkan murid. Jadikan ia berperan penting dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, apabila terjadi kesalahan pengambilan kebijakan, murid juga akan ikut belajar sehingga ia nantinya jauh lebih bijaksana dalam mengatasi dilema.

Itulah sebabnya, pemimpin pembelajaran yang dalam pengambilan keputusan juga melibatkan murid, mampu membina karakter murid sehingga semakin berkembang di kemudian hari. Sebagaimana seorang anak yang sudah mengenal perbedaan api dan air, tentunya ia akan bijak memutuskan mana yang boleh ia sentuh dan mana yang harus menggunakan pelindung. Akan sulit jika hanya diberikan pemberitahuan saja, tanpa ia mengalami sendiri. Maka, kesalahan yang dilakukan murid itu merupakan salah satu materi pembelajaran khusus yang tidak terikat dengan kurikulum manapun.

Kesimpulan modul ini dan kaitannya dengan modul sebelumnya adalah:

  1. Tidak semua nilai kebenaran akan diterima dan dijalankan oleh semua pihak yang terlibat. Ada kalanya mengalah, ada kalanya melibatkan banyak faktor, ada kalanya bergerak lambat.
  2.  Hasil akhir bukanlah sebuah ‘goal’, melainkan keharmonisan itulah ‘hasil akhir’ sehingga sangat penting menjaga relasi serta melibatkan peran semua hal sehingga sebuah prestasi bukanlah atas karya satu orang saja, melainkan ramai pihak yang terlibat. Hal ini akan menghilangkan rasa iri dan dengki sehingga visi bersama yang disepakati sejak awal tetap akan dijalankan secara berkesinambungan.
  3. Guru bukanlah guru yang sukses jika hanya menjadi sebab muridnya menjadi anak yang pintar ilmu pengetahuan. Melainkan, guru yang sukses adalah guru yang menjadi sebab seorang murid melewati semua proses pengalaman hidup yang berharga.
  4. Murid bukanlah produk yang dihasilkan oleh sebuah pabrik. Justru murid itulah CEO atau pemilik perusahaannya, di mana guru hanyalah salah satu jembatan bagi murid untuk mengarahkan apa yang terbaik sesuai harapannya.

Kesimpulan materi modul 3.1

A.     Dilema Etika dan Bujukan Moral

Dilema etika adalah situasi di mana seseorang harus membuat keputusan sulit antara dua pilihan yang dapat melanggar nilai etika yang dipegang atau membuat seseorang merasa tidak nyaman. Dilema etika seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan seringkali melibatkan keputusan yang berat, seperti memilih antara mengungkapkan kebenaran dan menjaga rahasia, atau memilih antara keuntungan finansial dan kejujuran.

Bujukan moral, di sisi lain, adalah situasi di mana seseorang merasa terpaksa untuk melakukan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan atau nilai moral yang dipegang. Bujukan moral seringkali membuat seseorang terpaksa untuk melakukan tindakan yang tidak etis atau melanggar kode etik.

B.     Paradigma Pengambilan Keputusan

Ketika kita menghadapi situasi dilema etika, akan ada nilai-nilai kebajikan mendasar yang bertentangan seperti cinta dan kasih sayang, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, tanggung jawab dan penghargaan akan hidup. Secara umum ada pola, model, atau paradigma yang terjadi pada situasi dilema etika yang bisa dikategorikan seperti di bawah ini:

1.       Individu lawan kelompok (individual vs community)

2.       Rasa keadilan lawan rasa kasihan (justice vs mercy)

3.       Kebenaran lawan kesetiaan (truth vs loyalty)

4.       Jangka pendek lawan jangka panjang (short term vs long term)

C.     Tiga Prinsip Pengambilan Keputusan

Menurut (Kidder, 2009, hal 144). Ketiga prinsip pengambilan keputusan adalah:

  1. Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking)
  2. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking)
  3. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking)

D.     Langkah-Langkah Pengambilan dan Pengujian Keputusan

Terdapat sembilan langkah, yaitu:

  1. Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan
  2.  Menentukan siapa yang terlibat dalam situasi ini
  3. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan situasi ini
  4. Pengujian benar atau salah (uji legal, regulasi, publikasi, dan panutan)
  5. Pengujian Paradigma Benar lawan Benar
  6. Melakukan Prinsip Resolusi (berpikir berbasis hasil akhir; berpikir berbasis peraturan; atau berpikir berbasis rasa peduli)
  7. Investigasi Opsi Trilema
  8. Buat Keputusan
  9. Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan

Setelah melewati beberapa modul hingga pada modul pengambilan keputusan, dampak yang saya rasakan yang paling utama adalah pentingnya berpikir dan bersikap dengan mempertimbangkan banyak sisi. Cara pandang saya terhadap orang lain dan masalah, tidak pada satu sudut saja. Atau tidak berdasarkan satu pengalaman. Melainkan banyak hal. Meski, pengambilan kebijakan akhirnya jauh lebih lambat daripada sebelumnya, setidaknya hal ini memperkecil risiko buruk di kemudian hari.

Saya juga menyadari bahwa murid berhak untuk melewati proses pendewasaan dalam mengelola emosi dan perannya dalam kehidupannya, baik di sekolah maupun secara personal. Maka, saya sebagai guru bukanlah penentu kebijakan yang akan ia ambil kelak. Itu sebabnya, saya paham, bahwa pendidikan yang menuntut sesuai maksud Ki Hajar Dewantara bukan sesederhana nilai, rapor, atau naik kelas. Melainkan guru sebagai salah satu faktor yang mendukung pendewasaan dan kebijaksaan seorang murid di masa yang akan datang.

Apabila ditanyakan seberapa penting. Lihatlah kembali paragraf terakhir saya sebelum ini. Bagaimana bisa saya mengubah cara pandang saya terhadap peran guru kepada muridnya, kalau tidak melalui sebab pentingnya modul ini bagi saya.

 

 

 

 

 

 

Top of Form

 

 

 

 


Komentar

  1. Sangat menarik Bu Dian ^_^ oh iya dari tulisan ini saya baru mengetahui bahwa Pratap Triloka adalah nama seorang tokoh, saya pikir pratap triloka adalah 3 konsep among.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUGAS KELAS IX, SENIN-KAMIS, 28-32 OKTOBER 2019

RPP DAN LKPD PEMBELAJARAN KOMBINASI LURING DAN DARING BAHASA INDONESIA TEKS PERCOBAAN (KD 3.1 DAN 4.1) KELAS 9 SEMESTER GANJIL