SERAKAH
S E R A K
A H
Sinopsis
Di suatu daerah yang memiliki tanah yang
luas, diperebutkan untuk dibuat pusat perbelanjaan, resort, dan restoran.
Pemilik tanah itu adalah Kakak dan Adik. Si adik berniat menjual tanah mereka
dengan penguasa, sedangkan si kakak ingin terus memperebutkan tanah itu. Maka,
segala cara dilakukan si adik untuk membujuk kakaknya hingga kemudian berakhir
dengan kematian.
pemain :
- Dian : Si kakak yang memiliki kekerasan hati mempertahankan argumen. Usia sekitar 25-30 tahun. Kolot dan bepenampilan sederhana, cenderung udik.
- Gia : Si adik yang bersifat selalu ceria, pengkhayal, berpenampilan menarik. Usia sekitar 20-25 tahun.
- Jarot : Lelaki keterbelakangan mental yang selalu menuruti dan melayani Dian maupun Gia. Berumur lebih muda dari keduanya.
Panggung
menunjukkan dipan kayu yang lembab, berjamur, dan berdarah. Sekeliling dipan
berserakan daun dan ranting kering. Kemudian Jarot masuk sambil menyeret Dian
kemudian mengikat tali ke kedua kaki Dian. Dian duduk di atas dipan. Kondisi
perempuan itu lusuh dan pucat. Kedua pergelangan kakinya diikat dengan rantai.
Babak 1
Light on
Musik mengalun lembut dan sayup-sayup.
Suara radio diputar. Penyiar menyampaikan berita bahwa akan dibangun mahakarya
di tanah indonesia, sebuah gedung penuh dengan hiburan. Hanya saja, pembangunan
gedung tersebut terbentur masalah kepemilikan.
Penyiar
Pemirsa, hak kepemilikan Tanah Hitam masih
simpang-siur. Hal ini disebabkan oleh salah seorang pemilik Tanah Hitam masih
mempertahankan tanah tersebut. Sejumlah investor telah memberikan tawaran yang
cukup tinggi. Tanah Hitam ini direncanakan untuk pembangunan pusat
perbelanjaan, pusat hiburan, dan resort. Pembuatan mahakarya ini masih
dipertanyakan oleh warga nusantara. Hal ini dikarenakan pembelian masih main
lempar tangan oleh salah seorang pemilik Tanah Hitam. Demikian laporan singkat
dari radio Mantap Fm. Kita kembali dengan berita terhangat satu jam berikutnya.
01
Dian
(Gelisah dan
hampir marah mendengar berita di radio.)
02
Gia
(Masuk sambil
membawa tas ransel, gulungan kertas besar, dan sambil menelpon diikuti oleh
Jarot.)
”Halo Bos, masih di
Tanah Hitam ini, Bos. Bisa.Ssaya
bisa kendalikan kakak saya. Tenang sajalah! Tanah Hitam ini akan jadi milik
Bos!”
03
Gia
(Melihat Dian
dengan muka kasihan. Lambat laun menjadi jijik. Ia mengeluarkan roti dalam
tasnya. Kemudian mendekati Dian.)
“Makan!”
(Melempar roti jatuh ke kaki Dian.)
04
Dian
(Diam.)
05
Gia
(Geram. Ia pun
mengambil roti gtadi. Duduk di samping Dian dan mencoba menyuapi Dian dengan
potongan roti.)
“Ayolah, makan! Aku tak mau kau mati!”
(Akhirnya
memaksa Dian untuk membuka mulut. Tapi tetap tak ada satu potong pun masuk ke
dalam mulut Dian. Meiske marah dan melempar roti ke tanah.)
“Dasar gila.”
(Keluar.)
Jarot
(Segera
mengambil roti dan memakannya. Setelah selesai, keluar.)
06
Gia
(Masuk lagi membawa tali. Dengan tergesa ia
datang dan berdiri menantang.)
“Tanda tangan! Apa
lagi yang kau tunggu? Tinggal tanda tangan saja kau tak mau!”
(Sambil
mengikat tangan Dian dengan tali.)
07
Dian
“Masih ingin kau
menjual Tanah Hitam pada penguasa negeri ini?”
08
Gia
“Ya, masih.
Keinginanku masih kokoh. Masih kokoh seperti pohon durian bapak kita yang ada
di serambi depan Tanah Hitam.”
09
Dian
“Ya. Durian Bapak memang masih kokoh. Di serambi muka
Tanah Hitam. Tega nian kau jual Tanah Hitam dengan pohon-pohon durian bapak
kita?”
10
Gia
Gia
“Apa lagi yang
harus dipertahankan? Durian tak lagi berbuah. Sedangkan ada orang kaya di sini
yang mau membeli Tanah Hitam ini dengan harga tinggi.”
11
Dian
“Ini tanah
bapakmu, Gia! Tanah bapak kita.”
12
Gia
“Bodo amat.
Bertahun-tahun tanah ini tak bisa digarap. Apa yang bisa kita harapkan lagi?
Lebih baik dijual saja seperti yang dilakukan oleh orang-orang kampung di sini.”
13
Dian
“Tanah ini adalah
tanah yang menghidupkan kita. Menghidupi keluarga besar kita. Bahkan menghidupi
hampir seluruh warga kampung. Tega kau jual dengan harga semurah itu?”
14
Gia
(Bersemangat)
“Jadi, kau tak
setuju harganya terlalu rendah? Oke. Aku akan cari pembeli baru! Indonesia memang
selalu membayar murah untuk barang berkualitas tinggi. Tenang saja kakakku
sayang. Akan kucari yang mau bayar tinggi.”
(Keluar dengan
gembira)
Light off
BABAK 2
Light on.
Setting sama seperti
semula.
15
Gia
(Masuk dengan riang diikuti oleh Jarot.)
“Aku dapat! Aku
dapat!”
(Berlari kecil
dan menunjukkan proposal di depan Dian.)
“Kau lihat! Aku berhasil mendapatkan calon pembeli
yang mau membayar sepuluh
kali lipat dari harga tertinggi yang dibayarkan Indonesia.”
16
Dian
“Dengan siapa kau
jual?”
17
Gia
“Belanda.”
18
Dian
“Apa? Kau jual tanah kita pada Belanda? Lupa kau pelajaran IPS, Gia? Belanda itu penjajah!”
“Apa? Kau jual tanah kita pada Belanda? Lupa kau pelajaran IPS, Gia? Belanda itu penjajah!”
19
Gia
“Tapi Belanda mau
membyar lebih tinggi dari Indonesia.”
(Mangalihkan
muka Dian agar memandangnya dengan kedua tangan)
“Kau tahu betapa senangnya aku? Uang dari hasil penjualan Tanah Hitam ini bisa menghidupi kita sampai mati.”
“Kau tahu betapa senangnya aku? Uang dari hasil penjualan Tanah Hitam ini bisa menghidupi kita sampai mati.”
(Sambil
melepaskan ikatan dari tangan Dian)
Sekarang tanda
tangan!
(Menyerahkan pen dan proposal)
20
Dian
(Menggeleng,
mengambil tali, dan mengikat tangannya sendiri)
“Aku tak mau tanda
tangan!”
21
Gia
(Menggaruk atau
meremas kepalanya karena kesal. Kemudian berdiri menjauh dari Dian)
“Keras kepala
sekali, kau! Coba kau pikir realistis. Kalau kita jual sama si Belanda, kita
akan kaya. Bodoh sekali kakakku ini!”
22
Dian
“Dengan siapa pun kau jual,
semahal apapun harganya, aku tak mau tanda tangan!”
23
Gia
(Lelah dan
terduduk di lantai)
“Bisa-bisa aku
gila, sama sepertimu. Tak malu kah kau disehut gila sama orang kampung? Tak
ingin jugakah kau hidup layak dengan harta melimpah?”
24
Dian
“Untuk apa harta
melimpah kalau cuma sebatang kara? Kita hanya berdua. Jika kita olah tanah ini berdua,
cukup sampai kita mati.”
25
Gia
“Cukup untukmu,
tapi tidak cukup untukku.”
26
Dian
“Emangnya apa yang
ingin kau beli, Gia? Sampai
kau mendadak serakah seperti ini?”
27
Gia
“Aku ingin seperti
perempuan kota, Kak. Punya pakaian, mobil, make up, dan banyak hal. Coba kau bayangkan ketika kau ke kota dengan
pakaian terbaikmu, turun dari mobil mewah dan ngejreng, dengan rambut
halus tergerai.”
28
Dian
(Tertawa)
Muka sepertimu mau
dandan bagaimanapun yang begini ini hasilnya.”
29
Gia
“Hah, mukamu juga
sama jeleknya denganku. Justru kalau kita kaya, kita bisa operasi plastik, Kak.
Kakak bisa cantik, aku pun bisa montok!”
30
Dian
“Apa kau tidak
pernah dengar kalau banyak orang yang operasi plastik, mukanya malah lebih
rusak? Lihat saja si Jarot, otaknya tidak selesai seperti itu kan akibat salah
operasi. Dokternya mau operasi bibir sumbing, lha malah otaknya yang rusak.”
31
Gia
“Oke. Mungkin ide untuk operasi plastik itu
tidak baik. Tapi, Kak. Kalau
kita kaya, kita tak perlu jalan kaki lagi. Kita akan naik mobil.”
32
Dian
“Mobil?”
33
Gia
“Iya, Kak. Mobil.”
(Mendekar dan duduk di samping Dian)
“Mobil merah, Kak.”
34
Dian
“Mobil merah?
Pakai kipas angin?”
35
Gia
“AC, kak.”
36
Dian dan Gia
(Membayangkan)
“Waaaaaaah!”
37
Gia
“Dengan uang itu
kita juga bisa membeli apapun di pasar. Eh, bukan … ke mall.”
38
Dian
(Memanggil
Jarot)
“Jarot, Jarot ... kemari, kita ke mall.”
39
Jarot
(Mengikuti Gia
dan Dian)
Ketiga pemain
berbaris seperti sedang melakukan perjalanan menuju ke sebuah tempat.
40
Gia
“Kita sudah
sampai.”
41
Dian
“Sudah sampai?
Inikah yang dinamakan mall?”
42
Gia
“Benar.”
43
Dian
Besar sekali. Di
sini ada toko kain, di sebelahnya ada toko perhiasan. Toko ikan. Wah, ada yang
jual hape.
44
Jarot
(Mencontohkan
orang sedang menelepon)
45
Dian
(Ikut aksi
Jarot)
“Lihat, Gia,
Jarot, di sini banyak yang jual
panci. Baju-bajunya pun
bagus-bagus. Lihat, ada pameran mobil!”
46
Gia
“Mana? Mana?”
(Mengikuti
tempat Dian berkhayal. Disertai dengan Jarot.)
47
Jarot
(Pindah tempat
lain mengikuti Dian)
48
Dian
“Kau coba celana
ini, Jarot”
49
Jarot
(Mencoba celana
yang kedodoran. Kemudian menangis seperti anak kecil)
50
Gia
“Jarot kenapa,
Kak? Apa celananya tidak bagus?”
51
Dian
(Diam sejenak
dan memperhatikan dengan tajam.)
“Bukan karena
celananya tidak bagus, melainkan ini semua tidak benar. Sudah cukup! Aku tak
mau berkhayal! Gila! Kalian
berdua gila!”
52
Gia
“Kau yang gila!
Hanya orang gila yang tak punya khayalan. Hanya orang gila yang tak punya
angan-angan! Kalau tanah ini dijual, semua ini bukan lagi khayalan.”
53
Dian
“Kau tidak akan
bisa menjualnya.”
54
Gia
“Kenapa tidak
bisa? Mereka tidak tahu bentuk tanda tanganmu seperti apa. Kupalsukan saja.”
55
Dian
“Tidak. Kau tak
akan bisa memalsukannya.”
56
Gia
“Kenapa aku tidak
bisa?”
57
Dian
“Karena aku tidak
bodoh, Gia. Aku bisa
memidanakan pemalsuan tanda tangan. Urusanmu bisa jadi lebih kacau. Kau tahu?
Tanpa aku, kau tidak akan pernah menjual warisan kita.”
58
Gia
“Aku beri kau waktu untuk berpikir. Ketika
aku datang, kau harus mengambil keputusan ‘ya’. Jika ‘tidak’, maka kau tidak
saja kubuat gila. Tapi buta, menderita, dan jadi jenazah!”
(Pergi)
BABAK 3
Setting memperlihatkan situasi sepi. Terlihat
Jarot yang menemani Dian.
59
Gia
(Datang sambil
membawa pisau.)
(Mengasah pisau.)
60
Dian
“Kau melakukan
apa, Gia?”
61
Gia
Mengasah pisau
62
Dian
“Buat apa?”
63
Gia
“Membunuhmu kalau
kau tidak tanda tangan.”
64
Dian
“Tidak, Gia.”
65
Gia
“Mengapa tidak? Tinggal
ditusukkan ke jantungmu dan aku tidak perlu repot lagi mengurusmu.”
66
Dian
“Tapi kau tak
sempat mendapatkan ijinku!”
(Menunggu
respon Meiske yang masih serius mengasah pisau)
“Dan seingatku,
kau tidak mengurusku. Kau mengurungku di sini. Membuatku menjadi orang gila!”
67
Gia
“Kau memang gila.”
68
Dian
“Aku pikir kau
yang gila, saudaraku. Kau serakah. Kau membuatku seperti ini agar kau bisa
mendapatkan semua harta kita.”
69
Gia
“Kita? Ini
hartaku!”
70
Dian
“Aku saudaramu,
Meiske. Kita sedarah. Ayah memesankan semua ini untuk kita jaga. Sekarang kau
buat aku seperti ini dan menyebarkan pada semua orang kalau aku gila. Agar kau
bisa mengambil semua kendali atas Tanah Hitam.”
71
Gia
“Aku bosan, Kak.
Aku bosan hidup miskin.”
72
Dian
“Lalu tinggalkan
aku sendiri?”
(Diam sejenak)
(Telepon berdering)
73
Gia
(Menjawab
telepon)
“Iya … saya pikir. Lebih baik dibatalkan saja
rencana kita. (Hening sejenak) Maksudku, bukan karena harganya terlalu rendah, hanya saja …”
(Diam
mendengarkan penjelasan dari telepon. Mendadak roman wajah berubah bersemangat)
“Maaf, Tuan. Saya
tidak jadi menjual.”
“Apa? Ditambah 30%
dari penghasilan perusahaan? Sungguh?”
(Menutup
telepon)
“Kau dengar itu?
Mereka mengajak kita sebagai pemegang saham. Tidak hanya sekadar membeli dengan
harga tinggi, aku tidak peduli apa yang kau katakan. Mau tidak mau kau harus
setuju.”
74
Dian
“Serakah! Kau
serakah!”
75
Gia
“Aku tidak peduli.
Aku tetap akan menjual tanah ini sebab semakin lama harganya semakin tinggi.”
76
Dian
“Itu karena Tanah
Hitam ini diselingi cerita tentang orang gila yang dikurung oleh saudaranya
sendiri? Secara tidak langsung, cerita itu membuat Tanah ini menjadi mahal dari
yang seharusnya. Kau jual saudaramu. kau jual kewarasanku. Kau jual harga
diriku! Kau jual harta kita.”
77
Jarot
(Selama
konflik, gelisah. Ia berusaha menghentikan namun hanya berputar-putar di tempatya sendiri.)
78
Gia
(Memukul Dian.
Penganiayaan dilakukan sambil memaksa Dian untuk menandatangani surat)
“Tanda tangan,
cepat! Tanda tangan sekarang.
Sekarang. Sekarang!”
(Menangis,
menjauh dari Dian)
“Aku hanya ingin
hidup lebih baik, Kak. Aku hanya ingin mewujudkan mimpiku. Itu saja.”
79
Dian
(Datang
mendekat)
“Kau boleh jual
Tanah Hitam kalau kau mau!”
80
Gia
“Apa katamu?”
81
Dian
“Ya.”
(Diam sejenak sebelum
menyerahkan kertas. Kemudian
menyerang balik Gia dengan tali yang digunakan untuk mengikatnya)
82
Gia
(Meronta
kesakitan)
“Kau gila. Kau
gila. Kau mau membunuhku?”
83
Dian
“Ya, mati …
mati … kau mati. Aku yang seharusnya mendapatkan jerih
payah ini. Bukan kau! Bukan kau, bangsat! Ini semua hartaku! Bukan milikmu!”
84
Gia
(Diam tak
bergerak)
85
Jarot
(Diam
ketakutan)
86
Dian
(Menoleh pada Jarot)
87
Jarot
(Ketakutan.)
88
Dian
(Mengambil
proposal. Menandatangani dan pergi.)
89
Jarot
(Menyeret tubuh
Gia keluar.)
LAMPU OFF
FADE OUT
SAJINGAN BESAR
DEKAT PERBATASAN MALAYSIA
2012
Komentar
Posting Komentar