BIREUEN-HIROSHIMA 1945
Pemain
- Fatimah : Anak perempuan berusia antara 12-13 tahun. Pendiam, patuh, namun memiliki stamina yang kuat.
- Takehiko : Anak laki-laki berusia sembilan tahun yang pemberani, lincah, ceria, dan tidak cengeng.
- Zainuddin : Wartawan independen yang senang bersyair, ramah, merasa bahwa dirinya adalah laki-laki paling tampan dari laki-laki yang ia temui, dan tak suka basa-basi.
- Tengku Zaid : Ustaz sekaligus imam di masjid yang bijaksana, kurus tinggi, selalu tersenyum
- Cut Nurjannah : Perempuan yang ramah, gesit, dan memiliki fisik yang kuat.
- Hana : Dapat diperankan oleh bayi yang baru merangkak atau digantikan dengan boneka.
Pemeran
lainnya:
1. Orang Jepang 1, 2, 3, 4
2. Orang berpakaian Aceh 1, 2, 3
3. Anak perempuan
4. Pengibar bendera
5. Orang lalu-lalang
Layar belum dibuka.
Layar menunjukkan siluet dua orang
anak laki-laki berbaring di pangkuan laki-laki. Seorang perempuan terlihat
mondar-mandir. Sesekali mengintip dan memunculkan kepalanya di balik tirai
latar. Lampu menyorot ke tengah panggung dengan cahaya merah jingga khas
menjelang magrib.
Diperdengarkan suara hening khas di tengah perkampungan yang
sepi.
BABAK PERTAMA
01
FATIMAH
(Masuk langsung menuju ke depan
rumah)
Seorang perempuan keluar langsung
menarik Fatimah memasuki rumah. Latar menunjukkan siluet Fatimah dan ibunya
menuju ke ruangan bersama adik dan ayahnya. Fatimah ikut duduk dan mereka
berlima terdiam sambil duduk bersila dan melingkar. Terlihat sesekali mereka
bereaksi dengan suasana ketakutan.
Masuk beberapa tentara Jepang. Lampu
di dalam layar perlahan padam. Berhenti di depan rumah, menoleh sebentar.
Kemudian melanjutkan perjalanan dan menuju ke luar panggung.
Hening beberapa saat.
02
SEORANG LELAKI
(Masuk ke dalam panggung dengan
mengendap. Menggedor pintu. Cahaya dari balik tirai perlahan menyala. Seorang
lelaki dari dalam berjalan kemudian membuka pintu. )
“Ayo! Mereka sudah menunggu.”
(Tengku Abdullah ikut turun. Berjalan bersama
menuju ke arah luar panggung, namun di arah yang pertama kali tentara Jepang
masuk. Ia berhenti sebentar kemudian menoleh ke dalam rumah. Tampak siluet
Fatimah perlahan berdiri dari berbaring lalu mengintip di pintu sedikit.
Tengku Abdullah mengisyaratkan
dengan tangan agar Fatimah menutup pintu.
Pintu ditutup. Cahaya di balik layar
padam. Dua orang laki-laki ini keluar panggung.
Lampu off
BABAK KEDUA
LAMPU ON
Panggung menunjukkan latar Jepang pada tahun 1945. Beberapa
rumah khas Jepang terlihat dari jauh. Di panggung menunjukkan latar tanah
lapang disertai beberapa tanaman. Seorang anak kecil menggendong bayi duduk
menjongkok di tengah sambil menggali sesuatu.
03
TAKEHIKO
Hana! Dapat!
(Mengacungkan koin. Ditiup dari debu
dan pasir kemudian menunjukkan kepada adik yang digendongnya di belakang.)
Sudah kubilang Hana-Chan. Bungker
mereka banyak harta karunnya.
(Berjalan mengitari panggung kemudian
berhenti di depan dengan gaya sepeerti sedang meneropong.)
Di sana itu, di Sungai Ota, pas di
Jembatan Aioi, Ayah akan pulang dari perang melawan Amerika Serikat! Kita akan
menang sebentar lagi, Hana-Chan. Jepang akan memenangkan perang ini. Kemudian
kita akan diakui oleh seluruh dunia akan kekuatan kita. Aku, bangga jadi anak
Jepang. Dan nanti kalau aku sudah besar, aku akan menjadi seperti Ayah. Menjaga
negeri ini di perbatasan laut dan udara.
(Berjalan kembali.)
Aku kesal sama Yuki. Seenaknya saja
ia menyuruh kita keluar rumah pagi-pagi begini. Mentang-mentang anak paling
tua. Aku ini Miyazaki Takehiko. Anak pemberani se-Hiroshima. Akulah yang akan
menjaga kalian. Termasuk dia. Seharusnya aku yang mengatur. Bukan dia. Betul
kan, Hana-Chan?
(Kembali berjalan dan berhenti di
depan dengan gaya memantau sesuatu di langit.)
“Hana-Chan! Itu apa? Pesawat Amerika
kah itu? Mengapa tidak ada peringatan dari petugas? Mengapa tidak ada sirene?
Cahaya putih dinyalakan dengan
terang selama beberapa detik. Kemudian disusul dengan suara ledakan bom.
Selanjutnya pecahan kaca dan bangunan runtuh.
Takehiko terpental dengan posisi
melindungi Hana. Ia menelungkup.
LAMPU OFF
BABAK KETIGA
LAMPU ON
Latar menggambarkan panggung yang berantakan. Latar belakang hitam. Beberapa batang pohon terlihat di beberapa sudut panggung.
Latar menggambarkan panggung yang berantakan. Latar belakang hitam. Beberapa batang pohon terlihat di beberapa sudut panggung.
04
FATIMAH
(Masuk sambil berlari dengan napas
tersengal-sengal. Kemudian terduduk di tengah panggung. Lalu terdengar suara
dari belakang panggung yang mengisyaratkan seolah Fatimah mengingat kenangan
beberapa waktu yang lalu.)
05
SUARA DARI BELAKANG PANGGUNG
“Lari, Fatimah! Larilah, Fatim! Ibu,
Sulaiman, dan Yusuf sudah dibunuh oleh Jepang. Mereka mengincar Tengku
Abdullah. Mereka mencarimu sekarang. Pergilah. Bawa uang ini untuk bekalmu di
jalan.”
06
FATIMAH
(Menangis)
“Abi … Ummi … Fatim harus pergi ke
mana sekarang? Bawa saja Fatim ikut pergi, Ummi …”
(Keluar panggung)
Lampu merah menyala sepanjang
panggung
07
TAKEHIKO
(Masuk sambil menggendong Hana
dengan kebingungan.)
(Diputar rekaman peringatan dari
Presiden Truman bahwa Amerika Serikat sudah mengebom Hirsohima dan
memerintahkan Jepang kalah tanpa syarat kepada sekutu.)
(Orang-orang dengan penampilan cacat
dan terluka lalu-lalang. Takehiko kebingungan.)
“Ibu! Yuki! Seiji!”
(Keluar panggung.)
LAMPU OFF
08
ORANG-ORANG JEPANG
(Masuk.)
09
JEPANG 1
“Kita tunggu saja di sini. Saya
yakin anaknya yang perempuan itu akan kembali.
10
JEPANG 2
“Benar. Kalau dia tidak kembali.
Pasti orang kampung di sini semua sudah bawa dia ke sembunyi. Itu anak
perempuan masih kecil. Pasti pulang ke rumah. “
11
JEPANG 1
“Biar dia jadi umpan itu Tengku
keluar dan keluar juga Panglima Akob itu.”
(Tertawa bersama temannya)
12
FATIMAH
(Masuk mengendap dari belakang
orang-orang Jepang. Ia berusaha tidak terlihat oleh Jepang yang terkadang
mondar-mandir. Fatimah kemudian masuk ke dalam latar di tengah panggung.
Terlihat siluetnya di tengah rumah. Kemudian terduduk sambil menangis.)
“Umi …. Yusuf … Sulaiman. Kenapa Umi
suruh Fatim pergi dan dan biarkan Fatim hidup sendiri? Umi …”
13
JEPANG 1
“Ssstt … aku rasa ada suara dari
rumah itu.”
14
JEPANG 2
“Aku tak dengar apa-apa.”
15
JEPANG 1
“Coba kau dengarkan baik-baik.”
(Menarik telinga Jepang 2 untuk
diarahkan ke rumah Fatimah.)
“Sudah kau dengar?”
16
JEPANG 2
(Menggeleng.)
17
JEPANG 1
“Baka!”
18
JEPANG 2
“Kita periksa saja ke sana!”
(Pergi memasuki layar)
LAMPU OFF
LAMPU ON DI SUDUT PANGGUNG.
19
FATIMAH
(Keluar dari arah lampu menyala. Ia
mengeluarkan peta kemudian mendekapnya ke dada dan dimasukkan ke saku bajunya.)
20
ORANG-ORANG JEPANG
“Hei, Siapa itu?”
21
FATIMAH
(Menoleh kemudian berlari. Masuk
orang Jepang mengejar. Dua kali orang Jepang keluar masuk panggung. Terakhir
kalinya membawa obor.)
22
JEPANG 2
“Kita bakar saja rumahnya!”
(Berlari keluar panggung. Lampu
menyala merah sepanjang panggung. Terdengar suara terbakar.)
LAMPU OFF
LAMPU ON
23
FATIMAH
(Masuk seolah berlari dikejar
sesuatu. Kemudian terjatuh di tengah panggung sambil menangis.)
24
ZAINUDDIN
(Sudah duduk di dekat Fatimah sambil
menulis sesuatu. Melihat Fatimah yang menangis tanpa mengetahui kehadirannya.)
“Ei, kau sedang apa?”
25
FATIMAH
(Terkejut hingga menjauh dari
posisinya.)
“Kau siapa?”
26
ZAINUDDIN
“Aku yang seharusnya Tanya kau
siapa. Apa yang kaulakukan di tengah hutan begini? Anak perempuan macam kau ke
tengah hutan yang tak tersentuh oleh orang lain ini tentu aku lah yang harusnya
bertanya kau siapa dan kenapa?”
27
FATIMAH
(Menangis.)
28
ZAINUDDIN
“Kau jangan takut. Aku sendiri tidak akan melakukan
hal buruk pada bangsaku sendiri. Katakan padaku, bagaimana kau bisa di tempat
ini dan kau mau kemana? Kau juga habis dari mana? Kenapa kau tidak di rumah
saja? Ini hutan belantara tidak sepantasnya kau ada di sini.”
29
FATIMAH
“Aku … lari
dari rumah.”
30
ZAINUDDIN
“Lari? Kenapa?”
31
FATIMAH
(Menangis.)
32
ZAINUDDIN
“Namaku Zainuddin. Keturunan dari uleebalang yang diusir oleh orang
kampung. Orang pikir aku adalah pengkhianat seperti yang lainnya. Tapi mereka
lupa bahwa darahku adalah darah orang Aceh. Pantang bagiku mengkhianati
bangsaku sendiri. Mengkhianati rasku sendiri untuk Belanda dan Jepang!”
“Katakan
padaku kau mau kemana? Barangkali bisa aku tolong.”
33
FATIMAH
(Menangis makin keras.)
34
ZAINUDDIN
“Ala mak oi! Kenapa kau menangis? Aku menyentuhmu
saja tidak. Aku hanya mau membantu. Bagaimana mungkin aku biarkan anak
perempuan, kecil pula begini sendiri di tengah hutan? Tak bawa apa-apa.”
35
FATIMAH
“Jangan bunuh Fatimah, Bang,”
36
ZAINUDDIN
“Aku tahu kau tak percaya padaku. Tapi kalau kau
mau, sebutkan saja kau mau mengarah ke mana tanpa harus menceritakan tujuan
akhirmu mau ke mana. Aku akan mengawalmu sampai aman di ujung jalan sampai aku
yakin jalan itu layak untukmu lewati seorang diri. Kau lari kenapa? Agar aku
tahu siapa yang aku tolong ini?”
37
FATIMAH
“Mak dan adik-adikku mati, Bang. Dibunuh Jepang.
Fatimah tak melihat Mak dan adik-adik di rumah tadi malam. Rumah kami dikepung
sama Jepang. Lalu dibakar sama mereka. Mereka juga mau mengejar Fatimah
sekarang.”
38
ZAINUDDIN
“Fatimah, kau pergilah ke rumah Cut Nurjannah.
Rumahnya tak jauh dari sini. Kau dengarkan saja suara air, maka kau akan
menemui pondoknya. Mintalah makan atau perbekalan darinya. Bilang kau di sini
disuruh olehku. Setelah dari sana, tinggal kau pikirkan kau akan ke mana.”
(Jeda.)
“Aku akan pergi lebih dulu agar kau yakin aku tidak
membuntutimu. Dengarkan aku! Zaman sekarang orang tidak lagi bisa membedakan
mana anak kecil mana yang sudah dewasa. Mana perempuan dan mana yang sudah
renta. Kalau mereka akan dihabisi, maka tidak akan ada diskusi. Kau harus
memilih untuk bertahan atau menyerah. Jika kau pilih menyerah, seharusnya sudah
kaulakukan saat kau dikejar Jepang. Kau pasti tak akan mungkin sekuat ini bisa
menghindar dari mereka. Lagipula jalur ini tak banyak orang yang tahu. Jadi aku
rasa, kau memilih untuk bertahan. Saranku, bertahanlah dan menyeranglah. Kalau
kau hanya bertahan, maka kau akan lelah.”
(Zainuddin melepaskan rencong dari balik bajunya.)
“Bawalah
ini. Kalaulah nyawa kita masih ada, kembalikan lagi padaku saat kau tidak
memerlukannya lagi.”
(Meninggalkan rencong di dekat kaki Fatimah.
Kemudian pergi.)
39
FATIMAH
(Mengambil rencong kemudian melihat arah Zainuddin
keluar. Fatimah memeriksa peta dengan membukanya sebentar. Disimpan kembali.
Kemudian keluar panggung)
LAMPU OFF
BABAK KEEMPAT
LAMPU ON
Latar menunjukkan rumah dengan lampu yang temaram.
40
NURJANNAH DAN FATIMAH
(Masuk dari dua arah panggung yang berlawanan)
41
FATIMAH
“Zainuddin.”
(Jatuh pingsan dan didekati dengan segera oleh
Nurjannah)
42
NURJANNAH
(Kebingungan sambil mengambil rencong dari
genggaman tangan Fatimah. Memeriksa pakaian Fatimah dan mendapatkan peta di
saku baju Fatimah. Kemudian disimpan.)
43
FATIMAH
(Sadar dari pingsan.)
44
NURJANNAH
“Kau tenanglah. Zainuddin adalah anakku. Kau menyebut
namanya sebelum pingsan tadi. Tapi Zainuddin tak kujumpai di dekatmu! Kau
kenapa sampai datang ke sini dalam keadaan tak terurus? Apa kau lari dari rumah
atau kau diapa-apakan Zainuddin?”
45
FATIMAH
“Cut siapa?”
46
NURJANNAH
“Aku Nurjannah. Emaknya Zainuddin. Zaunuddin itu
wartawan yang baru pulang dari Surabaya. Sudah dua hari dia belum pulang. Nanti
dia pulang tiba-tiba minta pisang atau nasi. Lalu pergi lagi.”
47
FATIMAH
“Boleh aku minta makan?”
48
NURJANNAH
“Ya Allah, kasihannya engkau, Nak!”
(Pergi mengambil makanan dan diletakkan di atas
tikar di tengah panggung. Ia melihat Fatimah makan.)
49
FATIMAH
“Mak tak makan?”
50
NURJANNAH
“Makanlah! Kau makan saja, Nak! Makanlah yang
banyak.”
51
FATIMAH
“Mak, Mak tinggal sendiri saja di sini? Ini memang
rumah Mak?”
52
NURJANNAH
“Aku dengan suamiku sebelumnya tinggal di sini. Ia
pergi sejak dua bulan yang lalu. Kalau Zainuddin pulang, maka aku berdua dengan
dia di rumah ini.”
53
FATIMAH
“Kenapa Mak tinggal di tengah hutan ini?”
54
NURJANNAH
“Ini tanah milik Allah. Siapa pun boleh tinggal.
Kalau di Bireuen, sudah tidak ada yang tersisa untukku lagi. Di tempat asalku,
aku diusir oleh ninik mamak dan kerabatku sendiri hanya gara-gara mereka ingin
menguasai seluruh harta benda orang tuaku. Mamakku bahkan mengamuk persis macam
sapi gila. Jadi, aku, suamiku, dan Zainuddin, anakku itu keluar dari rumah itu
dan kami tinggal di sini.”
(Terdiam sejenak.)
55
FATIMAH
“Pakaianku di mana, Mak?”
56
NURJANNAH
(Diam bahkan ingin beranjak pergi.)
57
FATIMAH
“Mak?”
58
NURJANNAH
“Katakan kau siapa, Fatimah? Lalu kenapa peta ini
ada padamu?”
59
FATIMAH
(Hendak mengambil kembali peta dari tangan
Nurjannah tapi dihalangi.)
“Kembalikan padaku!”
60
NURJANNAH
“Katakan kau siapa dan apa tujuanmu?”
(Tidak dijawab oleh Fatimah. Keluar panggung.)
Lampu menyorot hanya pada Fatimah.
Tak lama, masuk Nurjannah lalu membekap Fatimah
tiba-tiba. Diseret keluar panggung.
Masuk seorang Jepang. Masuk kembali Nurjannah.
61
JEPANG 3
“Di mana anak perempuan itu?”
62
NURJANNAH
“Kau salah rumah. Perempuan di rumah ini hanya ada
saya saja, Tuan. Sebaiknya Tuan pulang saja. Saya khawatir akan ada apa-apa
terhadap Tuan jika berada di sini.”
63
JEPANG 3
“Kau mengancamku!”
(Menyerang Nurjannah hingga Nurjannah terjatuh lalu
mencekik Nurjannah.)
64
FATIMAH
(Masuk. Hendak membantu Nurjannah. Ia mengambil
rencong dan menikamnya ke dada Jepang 3.)
65
NURJANNAH
“Fatimah! Kau pergilah cepat! Biar orang ini aku
yang urus. Cepatlah.”
(Mencabut rencong yang ada di Jepang 3.)
“Biar ini saja yang menjagaku jika terjadi
sesuatu.”
66
FATIMAH
“Tapi, Cut.”
67
NURJANNAH
“Fatimah, dengarkan aku! Kau pergilah. Cari pohon
berdahan tunggal sebanyak tiga baris di antara pohon kelapa. Kau pergi ke ujung
pohon itu. Di situlah kau harus pergi sesuai dengan petunjuk pada petamu.
Setelah itu, bacalah petamu dengan baik-baik. Aku yakin ayahmu sudah
mengajarimu dengan baik!”
(Nurjannah mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.)
“Ini! Bawa petamu baik-baik. Kau pergilah. Biar ini
aku urus. Jangan kembali! Pergilah sebisa mungkin tanpa jejak! Pergilah kalau
kau ingin membalas budiku. Kumohon.”
68
FATIMAH
(Pergi)
Lampu menyorot Nurjannah yang duduk di depan mayat
Jepang 3 sambil menggenggam rencong.
LAMPU OFF
BABAK KELIMA
LAMPU ON
69
TAKEHIKO
“Hana, kita tinggal sementara di sini, ya. Nanti
kita akan ke Cross Hospital untuk meminta obat dan bertanya di mana Ayah.”
(Memindahkan adiknya yang sedang tertidur. Kemudian
merapikan di sekitar tempat tidur Hana.)
70
ANAK PEREMPUAN
(Masuk sambil berteriak memanggil)
“Hei! Kau yang di sana! Kau tinggal di sini ya?”
71
TAKEHIKO
“Benar. Aku membuatnya sendiri. Rumahku sudah
roboh. Jadi kami tidak bisa tinggal di sana.”
72
ANAK PEREMPUAN
“Kau adiknya Yuki, kan?”
73
TAKEHIKO
“Iya.”
74
ANAK PEREMPUAN
“Aku temannya Yuki sewaktu sekolah. Ketika bom
dijatuhkan. Kami sekeluarga sedang berada di Kure. Tanah tempat kau tinggal ini
adalah tanah paman kami. Rumah kami sudah rusak. Tanahnya roboh ke sungai. Sama
sekali tidak bisa dipakai.”
75
TAKEHIKO
“Maksudmu, aku harus pergi?”
76
ANAK PEREMPUAN
“Benar. Maafkan aku. Kalau tanah kami tidak hilang
setengahnya, kami akan biarkan kau tinggal sementara di sini. Kau pergi lah ke
tenpat pengungsian atau pun ke rumahmu. Kemudian buat yang seperti ini di
sana.”
77
TAKEHIKO
“Tidak! Aku sudah susah payah membangunnya untuk
adiiku yang masih bayi. Kami duluan di sini. Semua tanah di sini boleh dipakai
siapapun.”
78
ANAK PEREMPUAN
“Aku peringatkan padamu, ya. Ayahku galak sekali.
Aku memperingatimu langsung karena aku tahu kau adalah adiknya Yuki. Lebih baik
kau pergi sekarang sebelum ayahku datang dan memukulmu.”
(Pergi)
79
TAKEHIKO
(Berteriak)
“Ambil saja tanahmu ini! Aku doakan mudah-mudahan
bom jatuh lagi tepat di atas kepalamu! Ke kepala bapakmu!”
LAMPU OFF
BABAK KEENAM
80
ZAINUDDIN
(Berbincang dengan Tengku Zaid)
Pemberontakan Pandrah adalah peristiwa yang
terjadi pada Kamis, 2 Mei 1945. Pada tengah malam itu, Teungku Pang Akob
bersama 40 orang pasukannya dari Lheu Simpang, Jeunieb menyerbu tangsi militer
Jepang di Pandrah. Pemberontakan terhadap Jepang itu digerakkan oleh Teungku
Pang Akob, Teungku Ibrahim Peudada, Teungku Nyak Isa, Keuchik Usman, Keuchik
Johan dan Teungku A Jalil. Mereka berdakwah memompa semangat rakyat untuk
berperang dengan Jepang. Dalam pertempuran di malam buta tersebut, pasukan
Teungku Suud Trienggadeng bersama kawan-kawannya di bawah pimpinan Teungku Pang
Akob menyerang tangsi militer Jepang di Pandrah. Malam itu tidak ada pasukan
Teungku Pang Akob yang tewas, sementara tentara Jepang di tangsi itu berhasil
dibunuh, kecuali satu orang yang berhasil melarikan diri ke induk pasukan
Jepang di Jeunieb.
81
TENGKU ZAID
“Jadi itulah sebabnya mengapa Jepang mengincar
keturunan para syuhada itu bahkan hingga anak-anak kecil sekali pun?”
82
ZAINUDDIN
“Aku rasa begitu, Tengku. Perempuan yang baru
tiba di warungnya Mirah tadi aku rasa ada hubungannya dengan salah satu anak
buahnya Teungku Pang Akob. Aku menuruhnya menemui ibuku di dalam hutan. Tapi
pagi itu aku lihat ia di warung Mirah dalam keadaan yang kotor sekali. Tengku
temanilah aku berbicara padanya. Aku ingin membantunya.”
83
TENGKU ZAID
“Tentu, Zainuddin. Mana mungkin aku biarkan
kalian berdua bicara. Naluriku tak akan snaggup melihat anak gadis berbicara
dengan bujang hanya berdua saja. Tanyakanlah ia. Apa inginnya. Jika memang kita
warga di Bireuen ini harus menjaganya. Akan kita lakukan.”
84
ZAINUDDIN
“Jazakallahu khairan, Tengku Zaid”
85
FATIMAH
(Masuk)
86
ZAINUDDIN
“Fatimah.”
87
FATIMAH
“Assalamu’alaikum, Tengku.”
88
ZAINUDDIN
“Wa’alaikumussalam warrahmatullah.”
89
FATIMAH
“Untuk apa Tengku minta Fatim ke sini? Mengapa
surat Tengku menceritakan masalah Pandrah?”
90
ZAINUDDIN
“Sebab kau dari Pandrah. Fatimah, kau endak ke
mana?”
91
FATIMAH
“Ke suatu tempat, Tengku. Cut Nurjannah tahu saya
akan ke mana.”
(Sambil mulai menangis.)
“Pulanglah Tengku. Saya takut ibu Tengku tidak
baik-baik saja.”
92
ZAINUDDIN
“Makku?”
93
FATIMAH
“Iya. Maafkan aku!”
94
ZAINUDDIN
“Ada apa, Fatimah?”
95
FATIMAH
“Aku minta ampunan padamu, Tengku. Ibumu seorang
yang baik hati. Ia tak membiarkan aku mati kelaparan. Ia berikan makanannya
untukku malam itu. Ia juga mengganti pakaianku dengan bajunya yang sedang aku
pakai ini. Semoga Allah membalas kebaikan kalian dengan yang setimpal. Malam
itu, aku berpikir kalau Cut Nurjannah akan melakukan hal buruk padaku. Sebab ….”
96
ZAINUDDIN
“Sebab apa?”
97
FATIMAH
“Sebab ia menyimpan sesuatu yang diamanahkan oleh
Abi untuk tidak ditunjukkan pada siapa pun. Aku sangka ia akan berbuat jahat
padaku. Berilah aku ampunan, Tengku Zainuddin. Bukan aku tidak mampu membalas
budi. Melainkan ketakutan yang menyebabkan aku mencurigai semua orang.”
98
ZAINUDDIN
“Sesuatu itu apa?”
99
FATIMAH
“Sebuah peta tempat aku disuruh Abi untuk pergi
jika suatu saat dibutuhkan. Ketika Jepang membunuh keluargaku, aku langsung
mengambil peta ini karena teringat akan pesan Abi. Aku bahkan tidak tahu peta
ini akan ke mana.”
100
ZAINUDDIN
“Bolehkah aku melihat petamu?”
101
FATIMAH
(Fatimah menggeleng sambil memundurkan langkahnya.)
“Aku ingin kau kembali menemui Cut Nurjannah.
Kabarkanlah padaku kabarnya. Aku mengkhawatirkan ia.”
102
ZAINUDDIN
“Mengapa harus aku mengkhawatirkannya jika kau
tidak bercerita yang jelas padaku ada apa?”
103
FATIMAH
“Tengku! Seorang Jepang telah datang subuh itu dan
endak membunuh Cut Nurjannah. Aku disuruhnya pergi tapi aku tetap kembali. Ia
hampir saja mati kalau bukan izin dari Allah, ia selamat dari maut. Namun aku,
telah menikam orang itu dengan rencong yang kau berikan!”
(Pecahlah tangis Fatimah.)
“Akankah aku diampuni, Tengku? Akankah Allah ampuni
aku, Tengku?”
104
ZAINUDDIN
“Fatimah, Komohon pulanglah, Tengku. Kabarkan aku
agar tidaklah aku menanggung rasa bersalah ini. Aku, perempuan kecil tak
berdaya ini sudah jadi pembunuh dan aku tak mau orang yang telah melindungiku
mati setelah kutinggalkan. Aku kembalikan rencongmu yang kini ada di tangan Cut
Nurjannah.”
105
TENGKU ZAID
“Lebih baik kau tinggal dengan kami. Di sini kau
akan aman. Kami yang akan menjagamu, Nak.”
106
ZAINUDDIN
“Baiklah, tunggulah aku di sini. Janganlah pulang
ke Pandrah lagi!” janji Zainuddin
LAMPU OFF
BABAK KETUJUH
LAMPU PUTIH MENYALA
Orang lalu-lalang di panggung. Salah seorang
penduduk berteriak sambil mengibarkan bendera merah putih.
“Jepang menyerah kepada sekutu. Hei, orang-orang
Aceh. Akhirnya Indonesia akan merdeka. Jepang sudah menyerah. Dua kota mereka,
Hiroshima dan Nagasaki sudah dibom oleh Amerika Serikat. Saatnya kita kibarkan
bendera kita di atas tanah yang menjadi hak milik kita sendiri. Milik
Indonesia. Jepang bukanlah orang-orang kuat. Kita harus melawan mereka. Kita
akan menang. Kita akan merdeka.”
ORANG-ORANG LAINNYA
(Meneriakkan takbir sambil mengikuti penyeru tadi)
LAMPU PADAM
LAMPU MENYALA WARNA MERAH
107
TAKEHIKO
“Hana! Kau di mana, Hana?”
(Berkeliling panggung mencari Hana. Ia berhenti
pada seorang sedang mencari barang di dekatnya.)
“Paman, kau lihat ada bayi yang merangkak baru
saja?”
108
JEPANG 4
“Tidak. Aku dari tadi di sini sednag memunguti
puing-puing rumahku. Kau tahu, Jepang sudah kalah. Kita sudah kalah perang.”
109
TAKEHIKO
“Kumohon, Paman. Bantu aku mencari adikku. Dia
masih bayi, Paman. Baru saja aku tinggalkan dia sebentar untuk membuat tenda di
atas tanah ibu dan ayahku. Dia sudah hilang. Paman, tolong, Paman.”
110
JEPANG 4
(Memanggil orang-orang sekitar)
“Ayo kita bantu cari adiknya.”
(Mereka berkeliling panggung beberapa kali sambil
meneriakkan nama Hana. Keliling yang terakhir menunjukkan Takehiko yang
berjalan mencari sambil menangis.)
111
TAKEHIKO
“Hana, kumohon kembalilah, Hana. Jangan kau
tinggalkan aku sendiri di sini. Ibu dan saudara-saudara kita sudah mati dalam
bom. Ayah kita juga sudah mati dalam perang. Dan sekarang kau tinggalkan aku,
Hana. Hana, kembalilah, adikku. Hana … Kumohon padamu, pulanglah.”
(Keluar panggung sambil terus meneriakkan nama
Hana)
LAMPU OFF
LAMPU PUTIH MENYALA
112
FATIMAH
(Masuk sambil berjalan dengan masih membaca sepucuk
surat. Ia tersenyum)
“Bismillahhirrahmaanirrahiim.
Dengan yang terhormat, Tengku Zaid bin Abdurrahman al Junayd. Maafkan aku kalau
aku lama mengirimkan kabar. Maafkan aku jika aku mengirimkan kabar melalui
surat. Tidak menemuimu secara langsung. Jika surat ini sampai, aku yakin sudah
lama sejak aku tuliskan ini dari Batavia.”
(Diam sejenak.)
“Tibanya aku di rumah ibuku di atas tanah yang
tidak akan ada yang mempersengketakannya lagi, aku menjumpai Mak masih dalam
keadaan sehat. Sehat dalam suratnya yang ia tinggalkan di dalam rumah. Ia tidak
ada di pondoknya saat aku tiba di sana. Mungkin sejak kejadian bersama Fatimah
malam itu, besoknya ia pergi. Dalam surat Mak, ia mengatakan kalau ia meminta
bantuan kepada orang di kampungnya Fatimah. Ia menceritakan pada penghulu
kampung kalau di dalam rumahnya telah datang seorang tentara Jepang yang akan
memperkosa dan membunuhnya. Tentara Jepang ini terpaksa ia bunuh. Mak bercerita
sangat baik hingga dipercaya seluruh orang di kampung. Ia tidak bercerita kalau
sudah bertemu dengan Fatimah. Maka, ramai orang kampung mengambil mayat si
Jepang naas itu dan dikuburkan sebelum membusuk.”
(Fatimah berpindah posisi. Kemudian melanjutkan
membaca)
“Tengku, tapi Jepang tidak percaya akan keterangan
Mak. Mereka menganggap bagaimana bisa seorang perempuan tua bisa membunuh
tentara Jepang sendirian? Maka, Mak kini ditangkap dan berada di pengadilan di
Batavia untuk memutuskan kebenaran pernyataan Mak. Tidak ada saksi saat
peristiwa itu terjadi. Mak dianggap hanya membual. Tapi pihak Jepang juga
dianggap hanya berprasangka. Sekarang, aku sudah ada di Batavia untuk
mendapatkan keadilan untuk Mak. Tidak akan kuceritakan siapa pembunuhnya. Kami
akan berjuang untuk mendapatkan keadilan. Jika Jepang licik, maka aku akan
lebih culas lagi.
“Tengku, jagakan Fatimah untukku!”
(Fatimah mendekap surat ke dadanya lalu tersenyum)
“Katakan padanya Mak tidak marah padanya. Aku pun
tidak. Semua yang terjadi adalah takdir yang telah Allah tetapkan. Fatimah,
tenangkanlah batinmu. Aku berpesan, tunggulah aku sebentar lagi. Indonesia
benar-benar akan mengumumkan kemerdekaannya tanggal 24 Agustus nanti. Itu tidak
sampai sebulan lagi. Jika Indonesia telah meraih kemerdekaannya kelak, insyaallah seluruh tanah di Aceh akan
aman kau datangi. Janganlah kau ke tempat itu sendirian. Rencong yang
kuamanahkan untukmu sudah aku terima kembali. Telah kaugunakan dengan baik
untuk melindungi Mak dari bahaya. Aku yang akan memanggil Tengku Abdullah dari
tempat itu untuk menjemputmu! Dengan caraku! Tengku, jagakanlah Fatimah
untukku. Jangan kau biarkan ada orang lain memintanya di rumahmu yang mulia
itu. Halaulah mereka bahkan sejak dari anak tangga rumahmu. Tolong jangan kau
sampaikan isi surat ini padanya. Akan kucari keberadaan keluarganya. Sumpahku
adalah agar terang keberadaan keluarganya termasuk keberadaan Tengku Abdullah.
Maka, Fatimah tidak boleh ke tempat itu. Jagakanlah ia dalam penjagaanmu,
Tengku. Tentunya atas izin dan penjagaan Allah ia selamat hingga saat ini.
Setelah urusanku di Batavia selesai, aku akan segera ke Beureun untuk datang
memintanya. Tengkulah yang akan jadi penghuluku nanti. Kepalaku pening semenjak
aku jatuh hati ketika bertemu pertama kali dengannya. Maka jangan Tengku
tambahkan pening kepalaku dengan menyampaikan isi hatiku ini pada Fatimah. Aku
takut kalau pengharapanku ini hanya bertepuk sebelah tangan. Sekianlah saja
yang aku sampaikan padamu, Tengku. Jagalah kesehatanmu baik-baik. Salam hormat dari
Zainuddin bin Sultan Haritsah.”
(Fatimah kembali mendekap surat dan tersenyum)
LAMPU OFF
LAMPU PUTIH MENYALA
Orang-orang lalu-lalang sementara terdengar suara
Zainuddin membaca puisi dari belakang panggung.
Jika kau kenang bulan itu pada malam keempat belas
Maka aku kenang kopi ini pada ampasnya di gelas yang kedua
Seorang tua mengirim kabar padaku bahwa batu telah kehilangan pasirnya
Sejak lama
Tapi meninggalkan pesan dan amanat
Yang tak sanggup dijangkau juga
Tak kusangka itu ia lalui belantara yang kau suruh untuk ia tuju
Di sana ia jumpai lelembut dan semacam orang Jepang katai tak
bersamurai
Jika kau kenang api dan darah pada bulan keenam
Maka aku kenang kopi ini yang ampasnya sudah menjadi tinta
Di atas kertas yang kau padahkan untuk ia jaga
Ia tunggu meski terang bulan hingga malam kedua puluh juta
Atau jika bulan terbelah jadi lima
Lalu bintang ia kalungkan hingga jadi untai
Temui aku di Batavia
Seseorang yang pergi malam buta
11 Agustus 1945
Seorang bernama yang kukenal tidak seperti wanita di balada dan
soneta
Ia berharta wasiat
Empat puluh empat waktu itu sedang tumpah darahnya
Ia masih berharta wasiat
Sudahkah mati
Atau masihkah menyimpan nyawa lagi
Sebagai bulan tak bersarung tapi masih bersinar jika awan tidak
sedang bersimpul mati
Ia masih berharta wasiat
Aku tanya kau
Masihkah jantung itu kau simpan dalam dada
Ataukah sudah bertumpah dengan darah
Atau bertukar dengan rasa malu
Lalu takut membongkar kelambumu?
Aku beri ia nama Fatimah
Lalu kusuruh ia buang wasiatnya
Mendadak suara riuh. Tiga orang lelaki dengan
berpakaian tradisional Aceh tergesa-gesa. Di hadapannya berjalan juga Tengku
Zaid, Fatimah, dan beberapa orang.
113
ORANG BERPAKAIAN ACEH 1
“Inikah rumahnya Tengku Zaid? Imam masjid besar di
Bireuen?”
114
TENGKU ZAID
“Benar. Saya sendiri yang bernama Tengku Zaid.
Siapa kalian dan dari mana kalian muncul?”
115
ORANG BERPAKAIAN ACEH 1
“Kami di sini atas puisi yang dibacakan
berhari-hari di radio. Kami mendengar ada anak perempuan yang kalian rawat.
Perempuan yang berasal dari Pandrah.”
116
FATIMAH
(Maju dan terlihat gusar.)
“Adakah kalian mengenal Abi, ayahku?”
117
ORANG BERPAKAIAN ACEH 1
“Tengku Abdullah mewasiatkan kepada kami untuk
menunggu di gunung hingga kau datang. Tapi kini wartawan berita, si Zainuddin
itu mengatakan bahwa kau ada di sini dan meminta kami untuk turun dan datang
menjemput.”
118
FATIMAH
“Di mana Abi, Tengku?”
119
ORANG BERPAKAIAN ACEH
(Saling berpandangan.)
“Dengan berat hati kami mengatakan, beliau telah
dieksekusi mati oleh Jepang setelah peperangan kami melawan Jepang di tangsi
mereka di Pandrah tiga bulan yang lalu.”
120
FATIMAH
“Abi!”
(Menangis.)
121
TENGKU ZAID
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.”
(Fatimah diajak masuk oleh seorang perempuan.
Sedangkan tamu berbicara dengan Tengku Zaid dengan mode bisu. Beberapa orang
yang berkerumun keluar satu per satu. Diikuti tamu yang diajak masuk oleh
Tengku Zaid.)
Diperdengarkan naskah proklamasi kemerdekaan yang
dibacakan oleh Soekarno.
LAMPU OFF
SELESAI
MEMPAWAH
2020
Komentar
Posting Komentar